|
Illustrasi Pic |
Dasar
Dasar Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat
Mengapa
rakyat Papua Barat ingin merdeka di luar Indonesia?
Mengapa
rakyat Papua Barat masih tetap meneruskan perjuangan mereka?
Kapan
mereka mau berhenti berjuang?
Ada empat faktor yang mendasari
keinginan rakyat Papua Barat untuk memiliki negara sendiri yang merdeka dan
berdaulat di luar penjajahan manapun, yaitu:
1.
Hak
2.
Budaya
3.
Latarbelakang sejarah
4.
Realitas sekarang
ad 1. Hak
Kemerdekaan adalah »hak« berdasarkan
Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration on Human Rights) yang menjamin
hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam mana hak penentuan nasib
sendiri (the right to self-determination) ditetapkan.
»All peoples have the right of
self-determination. By virtue of that right they freely determine their
political status and freely pursue their economic, social and cultural
development - Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar
mana mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan
pembangunan ekonomi dan budaya mereka«
(International Covenant on Civil and
Political Rights, Article 1). Nation is used in the meaning of People (Roethof
1951:2) and can be distinguished from the concept State - Bangsa digunakan
dalam arti Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep Negara (Riop
Report No.1). Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup beberapa bangsa,
maksudnya kebangsaan atau rakyat (A state can include several nations, meaning
Nationalities or Peoples).
Ada dua jenis the right to
self-determination (hak penentuan nasib sendiri), yaitu external right to
self-determination dan internal right to self-determination.
External right to self-determination
yaitu hak penentuan nasib sendiri untuk mendirikan negara baru di luar suatu
negara yang telah ada. Contoh: hak penentuan nasib sendiri untuk memiliki
negara Papua Barat di luar negara Indonesia. External right to
self-determination, or rather self-determination of nationalities, is the right
of every nation to build its own state or decide whether or not it will join
another state, partly or wholly (Roethof 1951:46) - Hak external penentuan
nasib sendiri, atau lebih baiknya penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa,
adalah hak dari setiap bangsa untuk membentuk negara sendiri atau memutuskan
apakah bergabung atau tidak dengan negara lain, sebagian atau seluruhnya (Riop
Report No.1). Jadi, rakyat Papua Barat dapat juga memutuskan untuk berintegrasi
ke dalam negara tetangga Papua New Guinea. Perkembangan di Irlandia Utara dan
Irlandia menunjukkan gejala yang sama. Internal right to self-determination
yaitu hak penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau bangsa untuk
memiliki daerah kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang telah ada. Suatu
kelompok etnis atau suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan sendiri, di
dalam batas negara yang ada, berdasarkan agama, bahasa dan budaya yang dimilikinya.
Di Indonesia dikenal Daerah Istimewa Jogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh.
Pemerintah daerah-daerah semacam ini biasanya dilimpahi kekuasaan otonomi
ataupun kekuasaan federal. Sayangnya, Jogyakarta dan Aceh belum pernah
menikmati otonomi yang adalah haknya.
ad 2. Budaya
Rakyat Papua Barat, per definisi,
merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras Melanesia yang berada di Pasifik,
bukan ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat memiliki budaya Melanesia. Bangsa
Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea),
Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan
Maluku, menurut antropologi, juga merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan
ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado,
dan lain-lain.
Menggunakan istilah ras di sini sama
sekali tidak bermaksud bahwa saya menganjurkan rasisme. Juga, saya tidak
bermaksud menganjurkan nasionalisme superior ala Adolf Hitler (diktator Jerman
pada Perang Dunia II). Adolf Hitler menganggap bahwa ras Aria (bangsa
Germanika) merupakan manusia super yang lebih tinggi derajat dan kemampuan
berpikirnya daripada manusia asal ras lain. Rakyat Papua Barat sebagai bagian
dari bangsa Melanesia merujuk pada pandangan Roethof sebagaimana terdapat pada ad
1 di atas.
ad 3. Latarbelakang Sejarah
Kecuali Indonesia dan Papua Barat
sama-sama merupakan bagian penjajahan Belanda, kedua bangsa ini sungguh tidak
memiliki garis paralel maupun hubungan politik sepanjang perkembangan sejarah.
Analisanya adalah sebagai berikut:
Pertama: Sebelum adanya penjajahan
asing, setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000
tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa
daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa
daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih
terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, di mana, sebagai
contoh, seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani
dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbai. Dari dalam
tingkat pemerintahan tradisional di Papua Barat tidak terdapat garis politik
vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika itu.
Kedua: Rakyat Papua Barat memiliki
sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan
Jepang. Misalnya, gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada awal tahun
1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis
komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri, di
bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu, lahir berdasarkan
kesadaran pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan diri di luar penjajahan
asing.
Ketiga: Lamanya penjajahan Belanda di
Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat.
Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua Barat,
secara politik praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1898-1962).
Keempat: Batas negara Indonesia
menurut proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah dari »Aceh
sampai Ambon«, bukan dari »Sabang sampai Merauke«. Mohammed Hatta (almarhum),
wakil presiden pertama RI dan lain-lainnya justru menentang dimasukkannya Papua
Barat ke dalam Indonesia (lihat Karkara lampiran I, pokok Hindia Belanda oleh
Ottis Simopiaref).
Kelima: Pada Konferensi Meja Bundar
(24 Agustus - 2 November 1949) di kota Den Haag (Belanda) telah dimufakati
bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa Papua Barat tidak merupakan
bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Status Nieuw-Guinea akan
ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian. (Lihat lampiran II pada Karkara
oleh Ottis Simopiaref).
Keenam: Papua Barat pernah mengalami
proses dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda. Papua Barat telah memiliki
bendera national »Kejora«, »Hai Tanahku Papua« sebagai lagu kebangsaan dan nama
negara »Papua Barat«. Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan oleh New Guinea
Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April 1961 secara
demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Nama
negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh seluruh rakyat Papua
Barat dan pemerintah Belanda.
Ketujuh: Dari 1 Oktober 1962 hingga 1
Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah perwalian PBB di bawah United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua
Barat merupakan daerah perselisihan internasional (international dispute
region). Kedua aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik
internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan
sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan
sejarah.
Kedelapan: Pernah diadakan plebisit
(Pepera) pada tahun 1969 di Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di dalam
Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera
(Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia.
Adanya masalah Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi
nilai sejarah Papua Barat di dunia politik internasional. Ketidaksetujuan
beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera merupakan
motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah.
Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri. (Silahkan lihat
lebih lanjut pokok tentang Pepera dalam Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Kesembilan: Rakyat Papua Barat,
melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah menyampaikan berbagai
pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian dari RI. Frans Kaisiepo
(almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi
Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan
sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks
(alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan
secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia
(Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Angganita Menufandu (alm.) dan
Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati Ati (alm.) dari
Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij, Lodewijk
Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan Orang
Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua,
Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.),
Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus
Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang
berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan
asing di Papua Barat.
ad 4. Realitas Sekarang
Rakyat Papua Barat menyadari dirinya
sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua
Barat. Kesadaran tersebut tetap menjadi kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat
Papua Barat memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Di
samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah
dasar perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme
Indonesia. Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan
yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat
mengemukakan pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi yang masuk
tentang sejarah Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal
sejarah mereka. Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas,
sebagaimana almarhum Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan)
menulis. Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Pada tahun 1984 terjadi exodus
besar-besaran ke negara tetangga Papua New Guinea dan empat pemuda Papua yaitu
Jopie Roemajauw, Ottis Simopiaref, Loth Sarakan (alm.) dan John Rumbiak (alm.)
memasuki kedutaan besar Belanda di Jakarta untuk meminta suaka politik.
Permintaan suaka politik ke kedubes Belanda merupakan yang pertama di dalam sejarah
Papua Barat. Gerakan yang dimotori Kelompok Musik-Tari Tradisional, Mambesak
(bahasa Biak untuk Cendrawasih) di bawah pimpinan Arnold Ap (alm.) merupakan
manifestasi politik anti penjajahan yang dikategorikan terbesar sejak tahun
1969. Kebanyakan anggota Mambesak mengungsi dan berdomisili di Papua New Guinea
sedangkan sebagian kecil masih berada dan aktif di Papua Barat.
Dr. Thomas Wainggai (alm.) memimpin
aksi damai besar pada tanggal 14 Desember 1988 dengan memproklamirkan
kemerdekaan negara Melanesia Barat (Papua Barat). Setahun kemudian pada tanggal
yang sama diadakan lagi aksi damai di Numbai (nama pribumi untuk Jayapura)
untuk memperingati 14 Desember. Dr. Thom Wainggai dijatuhkan hukuman penjara
selama 20 tahun, namun beliau kemudian meninggal secara misterius di penjara
Cipinang. Papua Barat dilanda berbagai protes besar-besaran selama tahun 1996.
Tembagapura bergelora bagaikan air mendidih selama tiga hari (11-13 Maret).
Numbai terbakar tanggal 18 Maret menyusul tibanya mayat Thom Wainggai. Nabire
dijungkir-balik selama 2 hari (2-3 Juli). Salah satu dari aksi damai terbesar
terjadi awal Juli 1998 di Biak, Numbai, Sorong dan Wamena, kemudian di
Manokwari. Salah satu pemimpin dari gerakan bulan Juli 1998 adalah Drs. Phillip
Karma. Drs. P. Karma bersama beberapa temannya sedang ditahan di penjara
Samofa, Biak sambil menjalani proses pengadilan. Gerakan Juli 1998 merupakan
yang terbesar karena mencakup daerah luas yang serentak bergerak dan memiliki
jumlah massa yang besar. Gerakan Juli 1998 terorganisir dengan baik dibanding
gerakan-gerakan sebelumnya. Di samping itu, Gerakan Juli 1998 dapat menarik
perhatian dunia melalui media massa sehingga beberapa kedutaan asing di Jakarta
menyampaikan peringatan kepada ABRI agar menghentikan kebrutalan mereka di
Papua Barat. Berkat Gerakan Juli 1998 Papua Barat telah menjadi issue yang
populer di Indonesia dewasa ini. Di samping sukses yang telah dicapai terdapat
duka yang paling dalam bahwa menurut laporan dari PGI (Persekutuan Gereja
Indonesia) lebih dari 140 orang dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat mereka
telah ditemukan terdampar di Biak. Menurut laporan tersebut, banyak wanita yang
diperkosa sebelum mereka ditembak mati. Realitas penuh dengan represi, darah,
pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan, namun perjuangan tetap akan
dilanjutkan. Rakyat Papua Barat menyadari dan mengenali realitas mereka
sendiri. Mereka telah mencicipi betapa pahitnya realitias itu. Mereka hidup di
dalam dan dengan suatu dunia yang penuh dengan ketidakadilan, namun kata-kata
Martin Luther King masih disenandungkan di mana-mana bahwa »We shall overcome
someday!« (Kita akan menang suatu ketika!).
Masa depan: Tidak diikut-sertakannya
rakyat Papua Barat sebagai subjek masalah di dalam Konferensi Meja Bundar, New
York Agreement yang mendasari Act of Free Choice, Roma Agreement dan
lain-lainnya merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan
oleh pemerintah (state violence) dalam hal ini pemerintah Indonesia dan
Belanda. (Untuk Roma Agreement, silahkan melihat lampiran pada Karkara oleh
Ottis Simopiaref). Rakyat Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk memilih
secara demokratis di dalam Pepera. Act of Free Choice disulap artinya oleh
pemerintah Indonesia menjadi Pepera. Di sini terjadi manipulasi pengertian dari
Act of Free Choice (Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera). Ortiz Sans sebagai utusan PBB yang mengamati jalannya Pepera
melaporkan bahwa rakyat Papua Barat tidak diberikan kebebasan untuk memilih.
Ketidakseriusan PBB untuk menerima laporan Ortiz Sans merupakan pelecehan hak
penentuan nasib sendiri. PBB justru melakukan pelecehan HAM melawan
prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan motivasi di mana rakyat Papua Barat
akan tetap berjuang menuntut pemerintah Indonesia, Belanda dan PBB agar kembali
memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu. Sejak pencaplokan pada 1 Mei 1963,
pemerintah Indonesia selalu berpropaganda bahwa yang pro kemerdekaan Papua
Barat hanya segelintir orang yang sedang bergerilya di hutan. Tapi, Gerakan
Juli 1998 membuktikan yang lain di mana dunia telah menyadari bahwa jika
diadakan suatu referendum bebas dan adil maka rakyat Papua Barat akan memilih
untuk merdeka di luar Indonesia. Rakyat Indonesia pun semakin menyadari hal
ini.
Menurut catatan sementara,
diperkirakan bahwa sekitar 400 ribu orang Papua telah meninggal sebagai akibat
dari dua hal yaitu kebrutalan ABRI dan kelalaian politik pemerintah. Sadar atau
tidak, pemerintah Indonesia telah membuat sejarah hitam yang sama dengan
sejarah Jepang, Jerman, Amerikat Serikat, Yugoslavia dan Rwanda. Jepang
kemudian memohon maaf atas kebrutalannya menduduki beberapa daerah di
Asia-Pasifik pada tahun 1940-an. Sentimen anti Jerman masih terasa di berbagai
negara Eropa Barat. Ini membuat para pemimpin dan orang-orang Jerman menjadi
kaku jika mengunjungi negara-negara yang pernah didukinya, apalagi ke Israel.
Berbagai media di dunia pada 4 Desember 1998 memberitakan penyampaian maaf
untuk pertama kali oleh Amerika Serikat (AS) melalui menteri luarnegerinya,
Madeleine Albright. "Amerika Serikat menyesalkan »kesalahan-kesalahan yang
amat sangat« yang dilakukannya di Amerika Latin selama perang dingin",
kata Albright. AS ketika itu mendukung para diktator bersama kekuatan kanan
yang berkuasa di Amerika Latin di mana terjadi pembantaian terhadap
berjuta-juta orang kiri. Semoga Indonesia akan bersedia untuk merubah sejarah
hitam yang ditulisnya dengan memohon maaf kepada rakyat Papua Barat di kemudian
hari. Satu per satu para penjahat perang di bekas Yugoslavia telah diseret ke
Tribunal Yugoslavia di kota Den Haag, Belanda. Agusto Pinochet, bekas diktator
di Chili, sedang diperiksa di Inggris untuk diekstradisikan ke Spanyol. Dia
akan diadili atas terbunuhnya beribu-ribu orang selama dia berkuasa di Chili.
Suatu usaha sedang dilakukan untuk mendokumentasikan identitas dan kebrutalan
para pemimpin ABRI di Papua Barat. Dokumentasi tersebut akan digunakan di
kemudian hari untuk menyeret para pemimpin ABRI ke tribunal di Den Haag. Akhir
tahun ini (1998) dunia membuka mata terhadap beberapa daerah bersengketa
(dispute regions), yaitu Irlandia Utara, Palestina dan Polisario (Sahara
Barat). Kedua pemimpin di Irlandia Utara yang masih dijajah Inggris menerima
Hadiah Perdamaian Nobel (Desember 1998). Bill Clinton, presiden Amerikat, yang
mengunjungi Palestina, tanggal 14 Desember 1998, mendengar pidato dari Yaser
Arafat bahwa daerah-daerah yang diduki di Palestina harus ditinggalkan oleh
Israel. Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, yang mengadakan tour di Afrika
Utara mampir di Aljasaria untuk mencoba menengahi konflik antara Front
Polisario dan Maroko. Front Polisario dengan dukungan Aljasaria masih berperang
melawan Maroko yang menduduki Polisario (International Herald Tribune, Nov. 30,
1998). Mengapa ada konflik di Irlandia Utara, Palestina dan Polisario? Karena
rakyat-rakyat di sana menuntut hak mereka dan memiliki budaya serta
latar-belakang sejarah yang berbeda dari penjajah yang menduduki negeri mereka.
Realitas sekarang menunjukkan bahwa rakyat-rakyat di sana masih tetap berjuang
untuk membebaskan diri dari penjajahan. Realitas sekarang di Papua Barat
membuktikan adanya perlawanan rakyat menentang penjajahan Indonesia. Ini
merupakan manifestasi dari makna faktor-faktor budaya, latar-belakang sejarah
yang berbeda dari Indonesia dan terlebih hak sebagai dasar hukum di mana rakyat
Papua Barat berhak untuk merdeka di luar Indonesia.
Sejarah Papua Barat telah menjadi
kuat, sarat, semakin terbuka dan kadang-kadang meledak. Perjuangan kemerdekaan
Papua Barat tidak pernah akan berhenti atau dihentikan oleh kekuatan apapun
kecuali ketiga faktor (hak, budaya dan latarbelakang sejarah) tersebut di atas
dihapuskan keseluruhannya dari kehidupan manusia bermartabat. Rakyat Papua
Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi negara tetangga yang baik dengan
Indonesia. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi
bagian yang setara dengan masyarakat internasional. Perjuangan akan dilanjutkan
hingga perdamaian di Papua Barat tercapai. Anak-anak, yang orang-tuanya dan
kakak-kakaknya telah menjadi korban kebrutalan ABRI tidak akan hidup damai
selama Papua Barat masih merupakan daerah jajahan. Mereka akan meneruskan
perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka akan meneriakkan pekikan Martin
Luther King, pejuang penghapusan perbedaan warna kulit di Amerka Serikat,
"Lemparkan kami ke penjara, kami akan tetap menghasihi. Lemparkan bom ke
rumah kami, dan ancamlah anak-anak kami, kami tetap mengasihi". Rakyat
Papua Barat mempunyai sebuah mimpi yang sama dengan mimpinya Martin Luther
King, bahwa »kita akan menang suatu ketika«.
Oleh:
Ottis Simopiaref *