Illustrasi |
Sikap kita
sungguh menentukan hidup yang sedang kita jalani. Begitulah adanya. Ada
orang-orang nampak demikian taat dalam beragama, suatu saat mengalami guncangan
dalam hidupnya. Perasaannya demikian pedih. Kesusahannya demikian dalam. Dan
semua dibawanya ke dalam doa. Mencari jawaban. Meminta harapan. Tetapi Tuhan
seakan-akan tak mendengar. Tuhan seakan-akan diam membeku. Dan doanya hanya
menjadi semacam hapalan tak bermakna yang setiap hari dilantunkannya dengan tak
berguna. Perasaannya pun kecewa. Dan sedih. Dan pilu. Dan menjurus ke putus
asa.
“Aku merasa
doaku tak pernah dikabulkan Tuhan” katanya kepadaku. “Aku merasa bahwa Tuhan
telah meninggalkan aku saat itu. Ya, saat itu. Tak ada pertolongan datang dari
orang-orang yang kuharapkan membantuku. Tak ada bantuan datang dari mereka yang
kuharapkan dapat menolongku keluar dari permasalahan ini...”. Dia diam sejenak,
memandangku dengan tenang. “tetapi kemudian aku mulai memikirkan kembali
sikapku. Memikirkan kembali perasaanku dan situasi yang membelengguku. Memang,
aku memiliki sikap yang praktis. Menyukai orang-orang tertentu dan membenci
orang-orang yang kuanggap tidak baik. Dan ketika berdoa kepada Tuhan, aku
mengharapkan agar doa-doaku dijawab sesuai dengan harapanku sendiri....”
“Tetapi ternyata,
saat mereka yang tidak kusukai menawarkan bantuan, ketika orang-orang yang
kubenci menawarkan jalan keluar dari permasalahanku, aku telah menolaknya.
Intinya, aku hanya ingin bantuan yang kuharapkan datang dari mereka-mereka
kusenangi dan kuharapkan saja. Bukan dari mereka yang tidak kusukai. Ternyata,
Tuhan memiliki cara lain dalam menjawab doaku. Sedang aku menginginkan agar
Tuhan membantuku sesuai dengan keinginanku sendiri. Dan saat itulah aku merasa,
betapa aku berdoa untuk mendikte Tuhan, bukan untuk memohon bantuan sesuai
dengan kehendak-Nya tetapi meminta bantuan sesuai dengan kehendakku sendiri...”
“Tetapi
siapakah aku ini sehingga dapat mendikte kehendak Tuhan? Mengapa aku harus
mengubah Tuhan dan bukannya mengubah diriku sendiri? Mengubah sikapku terhadap
sesama manusia? Terutama mengubah sikapku kepada mereka-mereka yang tak pernah
kuperhitungkan sebelumnya? Mengapa aku harus bertegar diri pada sikap
penolakanku terhadap bantuan dari orang yang tidak kusenangi? Dan tetap
menunggu dan mengharapkan bantuan hanya dari mereka-mereka yang kuinginkan
saja? Tidakkah Tuhan punya cara tersendiri dalam menjawab doa dan harapanku?
Demikianlah, lama aku merenungkan hal itu....”
“Jelas
kemudian, bagiku, Tuhan ternyata bukan tidak menjawab doaku. Ya, Tuhan bukan
mendiamkan dan menulikan diri-Nya atas segala harapanku di saat-saat kesulitan
yang sedemikian dalam membelenggu hidupku. Tuhan menjawab-Nya, tetapi akulah
yang menolak jawaban-Nya karena tidak sesuai dengan apa yang kupikirkan. Ketika
Tuhan membimbing orang-orang yang kubenci datang untuk mencoba menolong diriku,
aku menolak mereka, karena kupikir itu bukanlah keinginan Tuhan. Padahal
sesungguhnya itu bukanlah keinginanku. Kini, aku sadar, bahwa sering setiap doa
kita akan dikabulkan dengan cara yang sama sekali tidak kita pahami. Yang sama
sekali diluar dari keinginan kita. Sebab Tuhan menjawab doa kita hanya dengan
satu pertimbangan, ya hanya satu saja: kita dapat merubah sikap kita terhadap
sesama. Tanpa rasa bendi. Tanpa rasa ketidak-sukaan. Dengan demikian, Dia akan
datang dalam diri mereka yang kita tolak...”
“Belajarlah
dari pengalaman hidup ini, kawan. Belajarlah dari pahamilah bahwa, tidak semua
hal bisa berjalan sesuai dengan keinginan kita sendiri. Sering kita sendiri
yang harus berubah sebelum menemukan jawaban atas segala permohonan kita. Ya,
kita harus mempertimbangkan sikap kita sebelum merasa kecewa karena apa yang
kita harapkan, apa yang kita mohonkan, dapat dikabulkan. Karena apa yang kita
minta akan diberikan. Tetapi sesuai dengan kehendak-Nya. Bukannya sesuai dengan
kehendak kita. Ingatlah kalimat indah ini: “Terjadilah padaku menurut
kehendak-Mu”. Bukan menurut kehendak kita sendiri. Bukankah demikian?”
Aku memandang
padanya dengan terpesona. Dan aku sungguh-sungguh merasa betapa benarnya
kata-kata itu. Maka kini aku ingin membagikan kepada kalian kalimat indah itu.
Kepada siapa pun yang saat ini merasa betapa sia-sianya berdoa, betapa setiap
doa yang kita mohonkan setiap saat seakan lenyap begitu saja tanpa terjawab,
mungkin bukan karena Tuhan tidak menjawab doa kita, tetapi karena sikap kita
sendirilah sehingga kita gagal melihat jawaban Tuhan atas doa kita. Maka
cobalah merenungkan sikap kita sebelum mempersalahkan Tuhan.
Cobalah
merenungkan memikirkan kembali bahkan dari mereka-mereka yang sangat tidak kita
senangi, siapa tahu jawaban atas doa kita justru datang dari mereka itu. Dan
jika kita sadar, marilah merubah sikap hidup kita. Marilah menyadari bahwa
semua yang indah akan datang jika kita menghilangkan segala prasangka kita
terhadap orang lain. Bahkan terhadap mereka yang kita anggap sebagai musuh.
Sebagai lawan. Atau saingan.
Sikap kita
sungguh menentukan hidup kita. Dan setiap doa yang kita panjatkan mestinya
berawal dari keinginan kita untuk merubah diri. Merubah sikap. Dan bukannya
memaksa Tuhan untuk mengabulkan doa kita sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Tidak. Tuhan akan memberikan kita jalan, tetapi kitalah yang mesti melangkah.
Kitalah yang meminta Tuhan maka kita pula yang harus menerima apa yang akan diberikan-Nya.
Bukannya mengharapkan sesuai dengan apa yang kita inginkan. “Sebab rancangan-Ku
bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah Firman Tuhan
(Yes 55:8)...”
Oleh, Fransiskus Pekey Mahasiswa Kota Studi Manado
Posting Komentar